Wednesday, December 17, 2025
HomeBeritaMengapa Washington membisu atas tragedi kemanusiaan di Gaza?

Mengapa Washington membisu atas tragedi kemanusiaan di Gaza?

Di tengah kondisi kemanusiaan yang kian memburuk di Jalur Gaza akibat larangan Israel terhadap masuknya bantuan, bertentangan dengan ketentuan dalam kesepakatan gencatan senjata.

Masyarakat internasional—terutama Amerika Serikat (AS)—tak menunjukkan langkah nyata untuk memaksa Israel memenuhi kewajibannya.

Larangan masuknya bantuan itu memperparah penderitaan warga Gaza, terlebih ketika gelombang cuaca ekstrem melanda wilayah tersebut.

Data otoritas setempat mencatat, jumlah korban akibat dinginnya cuaca dan hujan deras meningkat menjadi 18 orang meninggal dunia.

Penulis dan analis politik Dr. Iyad Al-Qarra, dalam wawancaranya dengan program Ma Waraa’ Al-Khabar (episode 16 Desember 2025), menggambarkan situasi kemanusiaan di Gaza sebagai “sangat sulit”.

Ia menilai, meski kondisi telah mencapai tingkat yang mengerikan, dunia tetap tidak merespons seruan Palestina yang disampaikan jauh sebelum musim dingin tiba.

Menurut Al-Qarra, persoalan Gaza tidak boleh dipersempit hanya pada isu masuknya bantuan.

Warga Gaza menghadapi kebutuhan dasar yang jauh lebih kompleks, mengingat pendudukan Israel telah menghancurkan sekitar 350 ribu rumah dan memaksa sekitar satu juta orang mengungsi.

Al-Qarra, yang saat ini berada di Deir al-Balah, Gaza tengah, menuding Israel secara sistematis menggunakan aspek kemanusiaan sebagai alat tekanan terhadap warga Palestina.

Praktik yang, menurutnya, telah berlangsung baik sebelum maupun sesudah serangan 7 Oktober 2023.

Dalam konteks yang sama, pimpinan Hamas, Ghazi Hamad, menegaskan bahwa Israel telah melanggar seluruh butir kesepakatan penghentian perang secara terencana dan sistematis.

Pernyataan itu disampaikan Hamad dalam sebuah konferensi yang digelar Selasa (16/12/2025) untuk memantau pelanggaran tersebut.

Ia juga menyerukan agar para mediator internasional segera turun tangan menghentikannya.

Di sisi lain, Al-Qarra menyoroti pilihan-pilihan yang tersedia bagi Hamas di tengah kondisi saat ini dan berlanjutnya pelanggaran Israel.

Menurutnya, opsi yang ada terbatas pada peningkatan tekanan terhadap para mediator atau mengumumkan runtuhnya kesepakatan di bawah tekanan rakyat Palestina sendiri.

“Fatwa” Israel

Peneliti isu Israel, Adel Shadid, menyebut bahwa keputusan yang berujung pada kematian warga Palestina di Gaza lahir dari “fatwa keagamaan” dan dukungan basis sosial di Israel.

Ia mengungkapkan, salah seorang rabi bahkan menyatakan bahwa “apa yang terjadi di Gaza adalah keputusan ilahi untuk menghukum orang-orang jahat”.

Shadid tidak menutup kemungkinan adanya koordinasi antara pemerintah Amerika Serikat dan Israel dalam mencegah masuknya bantuan ke Gaza.

Ia menilai, Washington memiliki kepentingan untuk menekan para mediator terkait rencana penempatan pasukan internasional di Gaza.

Sebagaimana tercantum dalam proposal Amerika untuk gencatan senjata, sekaligus menekan isu persenjataan perlawanan dan tata kelola pemerintahan Gaza.

Ia juga memperkirakan bahwa pembunuhan Israel terhadap Raed Saad, tokoh Brigade Al-Qassam (sayap militer Hamas), dilakukan dengan persetujuan AS.

Menurut Shadid, pemerintah AS tidak menganggap operasi tersebut sebagai pelanggaran terhadap kesepakatan gencatan senjata.

Ia menambahkan, Presiden Donald Trump kemungkinan berada di bawah tekanan negara-negara Arab, sehingga meminta dilakukan penyelidikan atas peristiwa itu.

Sebelumnya, Trump menyatakan bahwa pemerintahannya tengah menelaah apakah Israel melanggar gencatan senjata dengan membunuh pimpinan Hamas tersebut pada Sabtu lalu.

Namun, Kepala Peneliti Dewan Kebijakan Luar Negeri AS, Dr. James Robbins, membela tindakan Israel.

Dalam wawancara dengan program yang sama, Robbins mengatakan Israel bersikukuh bahwa pembunuhan Raed Saad merupakan bagian dari operasi “pemberantasan terorisme”.

Terkait alasan Washington memilih diam atas tragedi kemanusiaan di Gaza, Robbins menyatakan bahwa AS justru berada di garis depan dalam upaya memasukkan bantuan ke wilayah itu.

Ia mengklaim sekitar 30 ribu truk bantuan telah diizinkan masuk dan bantuan tersebut sampai kepada pihak yang membutuhkan.

Menurutnya, pembatasan Israel terhadap sejumlah jenis barang didasarkan pada alasan “penggunaan ganda”, yang dituding dapat dimanfaatkan Hamas.

Namun, di tengah klaim-klaim tersebut, penderitaan warga Gaza terus berlanjut—menjadi pengingat pahit atas jurang antara retorika politik global dan realitas kemanusiaan di lapangan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler