Pada bulan kedua perang di Gaza, Maysarah Daniel merangkak keluar dari bawah puing-puing rumahnya yang hancur di Kamp Jabalia, Gaza utara.
Serangan udara Israel terhadap rumah tetangganya menyebabkan bangunan tempat ia tinggal bersama keluarga runtuh seketika.
Dalam kekacauan itu, Maysarah kehilangan sejumlah anggota keluarga, sekaligus seluruh dokumen penting miliknya.
Termasuk kartu identitas yang tertimbun entah di mana di bawah reruntuhan.
Sejak itu, satu-satunya dokumen yang dapat ia gunakan adalah kartu identitas sementara yang diterbitkan bagian administrasi sipil Kementerian Dalam Negeri Gaza.
Kartu sementara itu hanya membantu sebagian urusan, sementara banyak kebutuhan administratif lain tetap tidak dapat ia akses.
Situasi serupa dialami ribuan warga Gaza sepanjang dua tahun perang yang diramaikan dengan serangan mendadak, pemboman intensif, dan operasi darat berulang.
Ratusan ribu rumah hancur, dan bersama itu lenyap pula dokumen-dokumen resmi pemiliknya.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel menutup sepenuhnya akses masuk kartu identitas (KTP) ke Jalur Gaza melalui pos perbatasan Beit Hanoun (Erez).
Langkah ini semakin memberatkan sekitar dua juta warga Palestina yang sudah terdampak serangan berkepanjangan.
Penutupan tersebut menambah satu lagi hambatan besar: warga yang kehilangan KTP tidak dapat membuat pengganti.
Sementara yang memerlukan pembaruan identitas tidak dapat memprosesnya karena bahan baku dan perangkat pencetak tidak diizinkan masuk.
Prosedur yang kian rumit
Di Khan Younis, Rasha Sulaiman berdiri mengantre selama lebih dari lima jam di depan salah satu bank yang kembali beroperasi sebatas layanan administratif.
Namun bank menolak melayani pembukaan rekening karena KTP yang ia miliki sudah berusia lebih dari sepuluh tahun.
Bank-bank di Gaza saat ini hanya membuka layanan verifikasi atau pelengkapan berkas, tanpa transaksi uang.
Namun sebagian besar dari mereka menolak kartu lama maupun kartu identitas sementara yang diterbitkan otoritas lokal.
Rasha, seperti banyak warga lainnya, mengaku frustrasi. Banyak layanan formal kini mensyaratkan kartu identitas yang baru.
Sementara proses pembaruan itu sendiri tergantung pada izin Israel—yang hingga kini tetap menutup pintu pemasukan bahan-bahan untuk mencetaknya.
Identitas yang diatur oleh pendudukan
Sejak menduduki Gaza pada 1967, Israel mengendalikan penuh penerbitan identitas warga Palestina.
Meski perjanjian Oslo memberi sebagian kewenangan pada Otoritas Palestina, kewenangan inti—termasuk basis data penduduk dan sistem verifikasi—tetap berada di bawah kontrol Israel.
Setiap KTP harus melalui sistem administrasi Israel, dicetak dengan desain, chip elektronik, dan model yang ditentukan otoritas pendudukan.
Meski kartu dicetak di kantor-kantor dalam negeri Palestina, bahasa dan format tetap mengikuti regulasi Israel.
Bahan habis, mesin rusak, arsip hilang
Ismail al-Thawabteh, Kepala Kantor Media Pemerintah Gaza, mengatakan kepada Al Jazeera Net bahwa saat ini Gaza tidak mampu menerbitkan KTP pengganti ataupun memperbarui KTP lama. Menurutnya, ada sejumlah hambatan besar:
- Tidak tersedianya tinta khusus berkualitas tinggi yang digunakan untuk mencetak identitas, karena Israel melarang sepenuhnya masuknya bahan tersebut.
- Tidak adanya kertas khusus berciri keamanan tinggi yang menjadi bahan dasar KTP—bahan yang juga dilarang masuk, seperti halnya kertas paspor.
- Model KTP resmi yang diwajibkan otoritas Israel tidak tersedia, termasuk sampul luar dan lapisan pelindung dalam yang diperlukan.
- Kerusakan mesin pencetak yang dahulu digunakan, sebagian besar hancur akibat pemboman.
- Arsip kependudukan tidak dapat diakses, karena mengalami kerusakan parah dan sebagian tidak lagi dapat ditemukan.
Menurut al-Thawabteh, semua itu membuat ribuan warga kehilangan hak-hak administratif paling dasar.
Ia menilai larangan Israel merupakan bentuk tekanan dan hukuman kolektif yang melanggar hak asasi warga Gaza.
Pemerintah lokal menyerukan intervensi cepat dari komunitas internasional untuk menghentikan praktik yang menghambat aktivitas hidup masyarakat secara langsung itu.

