Thursday, December 18, 2025
HomeBerita972+: Ekonomi genosida Israel di ambang keruntuhan

972+: Ekonomi genosida Israel di ambang keruntuhan

Pakar ekonomi Israel, Shir Hever, yang selama ini meneliti dimensi ekonomi pendudukan Israel atas wilayah Palestina, menjelaskan bahwa mobilisasi perang di Gaza telah menopang sebuah ekonomi “zombie”.

Yaitu, tampak tetap bergerak dan berfungsi, tetapi sesungguhnya kehilangan arah serta tidak memiliki prospek masa depan.

Wawancara panjang dengan Hever dilakukan oleh penulis Amos Brison dari situs Israel 972+.

Hever sendiri menjabat sebagai Direktur Aliansi Keadilan Israel–Palestina.

Dalam wawancara tersebut, ia mengulas berbagai sisi kemerosotan ekonomi Israel.

Berikut rangkuman pokok-pokok pandangan Shir Hever mengenai memburuknya kondisi ekonomi Israel:

  • Perang Gaza memicu guncangan ekonomi besar. Puluhan ribu keluarga terpaksa mengungsi dari wilayah perbatasan dengan Gaza dan Lebanon.

Serangan roket dan tembakan artileri yang menghantam kawasan tersebut menyebabkan kerusakan langsung dan berdampak pada penurunan produktivitas ekonomi.

  • Sekitar 300 ribu tentara cadangan dimobilisasi dalam waktu lama. Akibatnya, terjadi kekurangan tenaga kerja secara signifikan. Banyak hari kerja dan pelatihan produktif yang hilang karena para pekerja tersebut ditarik ke medan perang.
  • Kelas menengah terdidik mulai mempertimbangkan emigrasi. Bahkan, sejumlah keluarga dan talenta berpendidikan tinggi telah meninggalkan Israel karena merasa mustahil membesarkan anak-anak mereka dalam kondisi saat ini.
  • Salah satu indikator krisis adalah pelarian modal. Banyak warga memindahkan tabungan mereka ke luar negeri, didorong oleh kekhawatiran terhadap inflasi, melemahnya nilai mata uang, turunnya peringkat kredit Israel, serta meningkatnya risiko investasi.
  • Pendapatan negara dialihkan untuk membiayai perang. Hal ini berdampak pada menurunnya kualitas layanan publik dan pendidikan tinggi, serta mendorong Israel semakin dekat ke jebakan utang.
  • Reputasi internasional Israel menjadi “beracun”. Israel kini menghadapi tingkat boikot, penarikan investasi, dan sanksi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
  • Ekonomi zombie. Hever menyebut ekonomi Israel sebagai “ekonomi zombie”: ekonomi yang masih bergerak, tetapi tidak sadar akan krisis internalnya sendiri maupun ancaman kehancuran yang kian dekat.
  • Ketergantungan pada belanja militer dan kredit asing. Perekonomian Israel sangat bergantung pada pengeluaran militer yang masif serta utang dan kredit luar negeri, tanpa rencana pembangunan berkelanjutan untuk masa depan.
  • Anggaran negara tidak mencerminkan realitas. Pemerintah meloloskan anggaran yang tidak sesuai dengan besarnya pengeluaran nyata, sehingga membuat utang negara lepas kendali.
  • Transaksi besar di sektor teknologi menipu persepsi. Kesepakatan bernilai besar di sektor teknologi memberi kesan seolah ekonomi tetap kuat.

Padahal, yang terjadi adalah para pekerja teknologi menjual saham mereka kepada perusahaan asing dan memindahkan dana ke luar negeri. Inovasi serta investasi teknologi justru mengalami penurunan tajam.

Mengapa pasar saham naik dan nilai shekel stabil?

Menanggapi pertanyaan tentang menguatnya pasar saham dan stabilnya nilai shekel, Hever menjelaskan bahwa kenaikan gaji tentara cadangan berperan besar dalam fenomena tersebut.

Para tentara ini menginvestasikan uang mereka di pasar saham karena tidak memiliki kesempatan untuk membelanjakannya selama bertugas di Gaza.

Dengan berinvestasi, mereka berusaha melindungi tabungan dari inflasi, yang pada akhirnya ikut mendorong terbentuknya gelembung ekonomi.

  • Bank sentral Israel turut “mengelola ilusi stabilitas”. Caranya dengan menjual cadangan dolar dalam jumlah besar untuk memberi kesan bahwa situasi terkendali. Namun, menurut Hever, langkah ini tidak lebih dari sekadar manipulasi pasar.
  • Kondisi hidup memburuk dan kemiskinan meningkat. Biaya perang menekan sebagian besar rumah tangga, meningkatkan beban utang mereka. Laporan organisasi nonpemerintah Israel Lattet, yang secara rutin memantau indikator kemiskinan dan ketahanan pangan, menunjukkan lonjakan signifikan jumlah warga yang mengalami ketidakamanan pangan. Banyak keluarga Israel kini hidup dalam kesempitan, dengan utang yang terus menumpuk selama perang berlangsung.
  • Risiko hilangnya kepercayaan investor. Ketika Kementerian Keuangan Israel akhirnya mengumumkan biaya perang yang sesungguhnya—dan membandingkannya dengan komitmen dalam Anggaran 2025—hal itu diperkirakan akan mendorong investor serta lembaga internasional untuk kehilangan kepercayaan.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler